Sabtu, 10/12/2011 13:09
Rp 1.000 jadi Rp 1 Tinggal Tunggu Amanat SBY
Jakarta - Proses penyederhanaan nilai mata uang rupiah alias redenominasi telah dirumuskan dalam sebuah  draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi. Draf RUU tersebut hanya tinggal dibawa ke Presiden SBY untuk persetujuan.
draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi. Draf RUU tersebut hanya tinggal dibawa ke Presiden SBY untuk persetujuan.
 draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi. Draf RUU tersebut hanya tinggal dibawa ke Presiden SBY untuk persetujuan.
draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi. Draf RUU tersebut hanya tinggal dibawa ke Presiden SBY untuk persetujuan.Demikian disampaikan oleh Gubernur BI Darmin Nasution usai Bankers Dinner di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (10/12/2011) malam.
"Redenominasi, ya kita sudah selesai drafnya. Draf RUU-nya, atau naskah akademiknya," kata Darmin.
RUU Redenominasi, sambung Darmin seluruhnya dibawah koordinasi Wakil Presiden. Dijelaskan Darmin, BI bersama-sama instansi-instansi pemerintah yang terkait hanya tinggal menunggu 
pembahasan final.
pembahasan final.
"Nah tinggal sekarang, pembahasan supaya dibulatkan di pemerintah. Oke ini dia RUU-nya seperti itu. Baru setelah itu, diajukan untuk dapat amanat presiden," ungkap Darmin.
Darmin optimistis, proses redenominasi semua masih sesuai jadwal. Sehingga, tahun 2012 dimana merupakan tahun sosialisasi tetap berjalan.
"Jadwalnya, kita masih seperti apa yang sudah kita tetapkan sebelumnya," kata Darmin.
Buka Mata dan Lihat Betapa Mengerikannya Redenominasi yang Berubah Jadi Sanering!
Ilmu ekonomi ribawi menyebutkan bahwa redenominasi itu berbeda dengan  sanering. Jika redenominasi itu adalah pemotongan angka uang menjadi  lebih kecil tanpa mengubah nilainya. Sedangkan sanering adalah  pemotongan nilai uang menjadi lebih kecil dan mengubah nilainya.
Dalam redenominasi, rp 10.000 dipotong menjadi rp 10, dengan harga  barang yang semula rp 10.000 juga berubah menjadi seharga rp 10. Fisik  kertasnya tidak digunting sebagaimana yang dilakukan di program  sanering.
Berbeda dengan sanering yang secara fisik kertasnya dipotong atau  digunting. Dimana rp 10.000 dipotong menjadi rp 10, sehingga dengan  demikian harga barang yang semula rp 10.000 belum tentu berubah menjadi  seharga rp 10.
Jadi, katanya redenominasi hanya semacam penyederhanaan penulisannya  saja yang tidak akan merugikan. Sedangkan sanering itu merugikan,  lantaran berubah nilainya. Katanya program sanering itu dilakukan karena  ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper  inflasi. Sedangkan program redenominasi itu dilakukan karena tujuan  efisien penulisan dan pembukuan saja. Benarkah begitu ?
Pemotongan sejumlah digit nominal kertas pada program redenominasi  itu ternyata juga ada potensi meleset, dalam arti kata tak serta merta  pasti diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru itu.
Terlepas dari perdebatan soal definisi dan tetek bengek perbedaan  antara redenominasi dengan sanering, sebenarnya ada apa kok Bank  Indonesia mulai mewacanakan akan melakukan redenominasi seperti yang  dilansir di Republika online.
”Redenominasi berbeda dengan sanering. Ini nilainya tidak berubah,  hanya penulisannya disederhanakan,” kata Kepala Biro Riset Ekonomi dan  Kebijakan Moneter BI, Iskandar Simorangkir, Selasa (4/5). Menurutnya,  saat ini sudah banyak pertokoan besar yang juga sudah mempraktikkan  ‘redenominasi’ dalam pelabelan harga.
Untuk menyederhanakan perbedaan redenominasi dengan sanering,  Iskandar memberikan contoh harga beras. Misalnya, harga beras satu  kilogram Rp 5.000. Dengan redenominasi, tiga digit nol dihilangkan, maka  harga beras menjadi Rp 5. Harga beras tetap, hanya nominalnya  disederhanakan. Daya beli uang yang terkena redenominasi pun tetap. Uang  Rp 5 tetap bisa membeli satu kilogram beras.
Jika sanering yang berlaku, harga beras yang semula Rp 5.000 itu  tidak serta-merta ikut menjadi Rp 5. Bisa jadi harga beras tetap Rp  5.000 atau Rp 50. ”Dengan sanering , yang berubah adalah nilai uangnya,  bukan penulisan nominalnya. Ini yang merugikan rakyat,” kata Iskandar.
Menurut kabar, kewenangan mengetuk palu perihal keputusan kebijakan  redenominasi itu, jika jadi dilaksanakan, ada pada pemerintah (lembaga  eksekutif) bukan pada BI (Bank Indonesia).
Pemilik Pecahan Uang Kertas dengan Angka Terbesar di Dunia
Indonesia adalah negara pemilik pecahan mata uang terbesar ketiga di  dunia, dengan pecahan mata Rupiah sebesar 100.000. Negara pemilik  pecahan mata uang terbesar kedua di dunia adalah Vietnam, dengan pecahan  mata uang Dong Vietnam sebesar 500.000. Zimbabwe di urutan pertama  dengan pecahan sebesar 10 juta dolar Zimbabwe. Makanya Zimbabwe  melakukan redenominasi.
Nah, jika Indonesia kemudian mengikuti jejak langkah Zimbabwe dengan  melakukan redenominasi, maka Indonesia inginnya terlepas dari daftar  negara-negara dengan pecahan angka kertas terbesar di dunia. Karena  hanya ada 2 pilihan, mau cetak kertas dengan angka yang lebih banyak  lagi atau angkanya mau dipotong biar kelihatan lebih sedikit.
Redenominasi Zimbabwe
Pada tanggal 1 Agustus 2006 pemerintah Zimbabwe mendevaluasi uangnya  60 % dan pada saat yang sama melakukan redenominasi dengan  menghilangkan tiga angka nol di belakang. Sebelumnya us$ 1 = zwd 101,000 menjadi us$ 1 = zwd 250.
Setelah langkah ini dilakukan ternyata tidak sesuai dengan dugaan  karena harga-harga barang dan jasa tidak mau mengikutinya sehingga  terjadi inflasi besar-besaran. Pada tahun 2007 pemerintah sampai harus  membuat peraturan yang aneh yaitu menyatakan bahwa inflasi adalah  melanggar hukum negeri itu, artinya tidak boleh ada pihak yang menaikkan  harga.
Beberapa eksekutif perusahaan harus masuk bui gara-gara menaikkan  harga produknya. Artinya harga barang dipaksa harus mengikuti nilai fiat money (nilai semu) bukan mengikuti nilai komoditi (nilai riil).
Langkah yang tidak biasa inipun tidak mempan juga, akhirnya terjadi lagi perubahan rate 11,900 % yaitu menjadi 1 US$ = ZWD 30,000 – ini angka resmi; angka tidak resminya ada di pasar gelap yaitu 1 US$ = ZWD 600,000.
Apakah dengan demikian uang kertas tersebut dapat diselamatkan? Tidak  juga, per Juni 2008 Zimbabwe mengalami inflasi 9.030.000 %. Maka  terjadilah redenominasi yang kedua dengan menghilangkan 6 angka di belakang (1.000.000 menjadi 1).
Redenominasi yang kedua sama saja malah memicu inflasi ribuan persen.  Otoritas moneter Zimbabwe tidak melakukan pemotongan atas fisik  uangnya, tapi dengan mengeluarkan pecahan dalam nilai baru yang sudah  disesuaikan dengan nilai redenominasi.
Harga-harga barang dan jasa tidak mengikuti nilai redenominasi itu  sehingga dimana program yang ingin dijalankannya itu sebenarnya adalah  redenominasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan menjadi sanering.
Satu pak kecil kopi produksi dalam negeri saat itu mencapai 1 miliar  dolar Zimbabwe. Sepuluh tahun lalu, jumlah uang sebesar itu sudah dapat  digunakan untuk membeli 60 mobil baru.
Sejumlah industri manufaktur saat itu beroperasi dengan kapasitas  30%. Hal itu karena semakin banyak karyawan yang tidak dapat pergi ke  lokasi kerja karena lonjakan ongkos bus yang tinggi.
Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan  penyesuaian harga berdasarkan nominal baru. Jadi, harga barang dari  1.000.000 bukan menjadi 1, tetapi menjadi 1000. Ini yang memicu inflasi  besar-besaran di Zimbabwe.
Banyak pihak juga akhirnya memilih menggunakan berbagai mata uang  asing, akibatnya, hiperinflasi. Denominasi mata uang mengalami  peningkatan, barisan angka nol pada mata uang semakin banyak. Tadinya  ingin mengurangi angka nol malah tambah  banyak.
Dolar Zimbabwe nyaris hilang nilainya baik dalam aktivitas komersil  ataupun sebagai pendapatan. Saat itu, lebih banyak transaksi bisnis  dilakukan dengan menggunakan dolar as, baik secara terbuka maupun  tertutup. Ada juga orang yang mulai paham dengan menggunakan emas untuk  membeli kebutuhan hidup sehari-hari sehingga tidak terkena dampak  sanering.
Bulan Juli 2008, bank sentral Zimbabwe menerbitkan mata uang senilai  100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai 2.000.000 %. Padahal,  tiga bulan sebelumnya, baru dicetak mata uang 50 juta dolar Zimbabwe.  Ketika itu, 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir  telur.
Kertas 500 juta dollar zimbabwe kalau dikonversi ke us dollar amerika  cuma dihargai 2 dolar. Harga-harga melambung begitu cepat hanya dalam  hitungan menit bahkan detik, tak heran jika karyawan toko-toko di  zimbabwe begitu sibuk mengganti label harga jika terjadi perubahan  harga.
Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar us. Akhirnya pada Agustus 2008, dilakukan redenominasi yang ketiga kalinya yaitu pemangkasan 10 digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar.
Karena lonjakan inflasi semakin menggila, pada Januari 2009 bank  sentral negeri Afrika itu kembali mencetak rekor dengan menerbitkan mata  uang berdenominasi terbesar sepanjang sejarah manusia, 100 triliun  dolar.
Februari 2009, bank sentral kembali melakukan redenominasi yang keempat kalinya  dengan memangkas 12 digit angka nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal  menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang terbesar hanya 500 dolar  Zimbabwe. Kasihan, mau-maunya dibodoh-bodohin.
Sejarah Sanering di Nusantara
Sanering alias pemotongan nilai mata uang yang pernah terjadi di  Indonesia pada 1952, 1959, dan 1966. Pada tahun 1952 yang lebih dikenal  dengan “gunting syafruddin”, mata uang keluaran NICA (Belanda) dibelah  dua dan hanya sebelah kiri yang berlaku dengan nilai setengahnya.
Tahun 1959, sebulan setelah Dekrit Presiden, juga dilakukan  pemotongan nilai uang setengahnya. Tahun 1966, ketika inflasi sangat  tinggi, kertas seribu rupiah dipotong menjadi tinggal 1 rupiah. Namun,  situasi ekonomi yang masih kacau membuat harga barang kembali melonjak  gila-gilaan, terutama bahan pokok, seperti beras yang masih banyak  diimpor.
Gunting Syafruddin
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali  dikenal dengan nama “gunting syafrudin” dimana uang kertas betul-betul  digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar  seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB  (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank  Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan  oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II,  yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua.  Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan  nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00.
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan  dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk.  Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi  alias dibuang.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan  obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40  tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. “Gunting Sjafruddin” itu juga  berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami  pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat  itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga  melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi  solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan  mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan  akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua  yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500  (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan.  1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai  rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang  dilakukan soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan  secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan  melalui RRI (Radio Republik Indonesia).
Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin.  Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang  50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual  beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu  terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1  (uang baru). Sukarno melakukan sanering akibat laju inflasi tidak  terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari  sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar us.
Sebelum sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp  4/liter menjadi rp 250/ liter  (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok  tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp  120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga  jadi pada naik. Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp  250/liter menjadi rp 500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp  100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga  ketika terjadi krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $  menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang  pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200.
Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian nilai fiat money  ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti, buktinya bisa dilihat  dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya  adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
Fiat Money itu Angkanya Makin Banyak, Daya Belinya Makin Turun
Sampai awal 1950-an, orang yang punya rupiah jutaan belum  banyak. Kalau ada mereka dijuluki jutawan atau ‘milioner’. Tapi sekarang  mereka yang gajinya 5 juta di Jakarta, hidupnya pas-pasan. Kalau  pertengahan 1950-an, harga mobil mewah mercedes benz hanya sekitar 1  juta rupiah (harga sekarang 2010 mungkin sekitar 1 miliar), setengah  abad lalu tidak ada yang membayangkan ada orang yang memiliki kekayaan  miliaran rupiah.
Seperti bekas rumah Raden Saleh di Cikini yang tidak kalah luasnya  dengan Istana dilego dengan harga rp 25.000. Punya uang rp 25.000 bisa  beli rumah besar tapi sekarang tahun 2010, rp 25.000 paling bisa buat  beli 5 potong ayam goreng.
Pada 1950-an itu naik oplet hanya rp 1, sekarang tahun 2010 naik  angkot minimal bayar rp 2000. Kalau. Langganan surat kabar rp 6 per  bulan, eceran 35 sen (rp 0,35) tapi sekarang tahun 2010, harga surat  kabar eceran rp 3000.
Salah Satu Tanda Akhir Zaman adalah Hancurnya Sistem Fiat Money, begitu ada sumber yang menyebutkan namun tidakkah kita harus melihat masa lalu untuk bisa melangkah ke masa depan, taruhlah sekarang kondisi ekonomi dan pokitik Indonesia sedang "bergolak" misalnya dengan adanya gerakan OPM, polisi di bunuh di papua, kejahatan perampokan bersenjata, korupsi merajalela jika ditambah dengan adanya Redenominasi yang kemungkinan bisa meleset jadi Sanering. Bagaimana kira-kira kondisi Indonesia?.
Salah Satu Tanda Akhir Zaman adalah Hancurnya Sistem Fiat Money, begitu ada sumber yang menyebutkan namun tidakkah kita harus melihat masa lalu untuk bisa melangkah ke masa depan, taruhlah sekarang kondisi ekonomi dan pokitik Indonesia sedang "bergolak" misalnya dengan adanya gerakan OPM, polisi di bunuh di papua, kejahatan perampokan bersenjata, korupsi merajalela jika ditambah dengan adanya Redenominasi yang kemungkinan bisa meleset jadi Sanering. Bagaimana kira-kira kondisi Indonesia?.
sumber : detik dan berbagai sumber lainnya










